Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Segalanya Ada Waktunya


Sebagian sahabat Radhiyallahu’anhum yang telah mencapai level kebersihan jiwa yang tinggi, pernah mengira bahwa mereka dituntut untuk mempraktikkan ketekunan yang ekstrim serta tenggelam dalam amaliyah ibadah yang tiada putus-putusnya. Mereka juga mengira Islam memerintahkan untuk memalingkan diri dari semua kenikmatan hidup dan kesenangan duniawi. Maka mereka pun tidak mau menyentuh hiburan dan permainan, selalu menengadahkan pandangan ke langit, mencurahkan pikiran ke akherat, dengan menjauhi dunia dengan segala pernak-perniknya. Mata mereka selalu bersimbah air mata karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hati mereka khusyu’ berdzikir, dan tangan mereka selalu terangkat berdoa kepada-Nya. Kalau sebentara saja lalai melakukan semua itu, mereka segera mengutuki diri sendiri sebagai seorang munafik.

Hal tersebut dapat kita simak dengan jelas dalam hadits Hanzhalah Al-Usaidi Radhiyallahu’anhu, salah seorang juru tulis Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam. Ia bercerita tentang dirinya sendiri:
“Suatu hari, saya bertemu dengan Abu Bakar Radhiyallahu’anhu.
“Apa kabarmu, Hanzhalah?” tanya Abu Bakar.
“Saya telah melakukan kemunafikan,” jawab Hanzhalah.
“Subhanallahu! Apa yang kamu katakan ini?”
Hanzhalah menjawab, “Ketika saya tadi sedang bersama Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam, beliau mengingatkan tentang Surga dan Neraka. Sampai-sampai, saya seperti melihat keduanya secara langsung. Tapi setelah beranjak dari Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam dan bermain bersama istri, anak-anak, serta sibuk dengan pekerjaan di rumah, saya jadi lupa apa yang disampaikan beliau.”
“Demi Allah, saya pun pernah melakukan hal yang sama!” tukas Abu Bakar.
Maka saya dan Abu Bakar pun pergi menemui Rasulullah Shallallah’Alaihi wa Sallam. Ketika tiba dihadapan beliau, saya segera mengadu, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan kemunafikan!”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Kemunafikan apa?”
“Ketika kami sedang bersama Anda, Anda mengingatkan tentang surga dan neraka, sampai-sampai kami seperti melihat keduanya secara langsung. Tetapi setelah beranjak pulang dan bermain bersama istri, anak-anak, serta sibuk dengan pekerjaan di rumah, kami jadi lupa apa yang Anda sampaikan.”
Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam lalu menimpali.
“Demi Dzat yang memiliki diriku! Kalau Kalian selalu dalam keadaan seperti ketika bersamaku itu, atau selalu dalam dzikir, niscaya malaikat akan terus menemani Kalian di atas tempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, segala sesuatu ada waktunya.”
Beliau mengulangi kalimat, “Segala sesuatu ada waktunya” ini sebanyak tiga kali, demi menekankan urgensi maknanya.

Mengambil spirit dari hadits di atas, orang-orang lalu membuat ungkapan yang menyatakan: “Ada waktunya untuk hatimu, dan ada waktunya pula untuk Tuhanmu.” Diceritakan oleh Al-Ashma’i bahwa ia pernah bertemu dengan seorang perempuan di padang Sahara. Ketika shalat, perempuan itu khusyu’ sekali. Namun begitu selesai shalat, ia langsung duduk  di depan cermin dan berdandan. Al-Ashma’i bertanya keheranan, “Bagaimana kamu melakukan semua ini, tadi kamu shalat begitu khusyu’, tapi setelah itu langsung berdandan?”
Perempuan itu menjawab lewat sebait syair.
“Ada sisi untuk Allah didalam diriku yang tidak aku lalaikan
Tapi ada sisi didalam diriku pula untuk permainan dan kepahlawanan.”
Al-Ashma’i berkata, “ Dari situ saya tahu bahwa perempuan tadi sudah bersuami, ia berdandan untuk suaminya, dan ia berkasih mesra dengannya.”

Ada sebuah hikmah yang menyatakan , “Seorang yang berakal tidak selayaknya pergi selain untuk tiga perkara mencari bekal untuk  akherat, memperbaiki taraf kehidupannya, atau mereguk nikmat yang tidak diharamkan.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Seorang Manusia

Teladan yang paling baik dalam melakoni sisi kemanusiaan adalah utusan Allah yang terakhir, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hidup beliau merupakan teladan yang apik bagi hidup manusia yang sempurna: dalam kesendiriannya, beliau selalu shalat dan tenggelam dalam kekhusyukan serta tangis. Sampai-sampai kedua kaki beliau membengkak. Beliau benar-benar tidak memperdulikan siapapun ketika tengah beribadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Namun dalam kehidupan publik, di saat bersama orang-orang, beliau adalah manusia biasa. Beliau menyukai hal-hal yang baik, ramah dan tersenyum kepada semua orang, bermain bersama dengan anak-anak kecil, bersenda gurau dengan istri-istri beliau, memanjakan mereka, bercanda, sekalipun tetap tak pernah mengucapkan sesuatu selain kebenaran.
Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam menyukai kebahagiaan dan hal-hal yang bisa menciptakan suasana bahagia. Sebaliknya, beliau tidak menyukai kesedihan serta hal-hal yang bisa membuat suasana sedih. Beliau selalu berlindung kepada Allah Subhana wa Ta’ala dari pedihnya kesedihan, seperti yang beliau ucapkan:
“Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hajani (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan)”

Hati pun Bisa Jenuh

Para sahabat Radhiyallahu’anhum yang jiwanya baik dan bersih juga kerap bercanda, tertawa, bermain, serta berkelakar. Lewat senda gurau itu, mereka memenuhi kebutuhan jiwa, tuntutan fitrah, dan melemaskan otot-otot hati. Dengan menikmati hiburan yang benar, jiwa mereka menjadi lebih kuat lagi menjalani lika-liku perjuangan yang panjang.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’Anhu berkata, “ Istirahatkanlah hati, dan carilah gizi hikmah untuknya. Karena, sesungguhnya, hati bisa jenuh sebagaimana badan bisa capek.”

Post a Comment for "Segalanya Ada Waktunya"