Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wadi Marwa


Desa Wadi Al Marwa siang itu berubah menjadi sentra keramaian di daerah Arabika State. Anak-anak berjubah menjuntai tiba-tiba saja menyemut dan tidak habis-habisnya memenuhi jalan-jalan setapak desa itu. Hari itu adalah awal liburan para santri Darussalam yang setahun ditempa dengan ilmu-ilmu agama. Saat ini mereka diberi cuti selama dua minggu untuk pulang ke daerah masing-masing, sekaligus merayakan Idul Adha bersama keluarga mereka. Begitupun dengan Filsuf Al Ghifary walaupun dia sendiri tidak punya rumah tapi ia bisa ikut merayakan hari raya itu bersama keluarga Adnan Eldron. Adnan salah satu sahabat Filsuf yang sama-sama bersekolah di pondok islam Darusalam. Orang tua Adnan juga adalah wali Filsuf sangat senang bisa menjamu Filsu di rumah mereka pada stiap liburan sekolah.
“Beruntung tadi aku bawa sedikir barang, jadi tidak perlu tarik nafas terlalu panjang, he.. he..,” ujar Adnan girang ketika melihat Filsuf tersengal-sengal.

Filsuf memandang Adnan dengan pandangan iri, nafasnya terasa pendek sehingga seperti orang terkena sakit asma. Jalanan yang mereka lewati untuk sampai ke Marwa sangat melelahkan, naik turun lereng melewati
jalan setapak selama satu jam sambil memanggul ransel.
“Aku menyesal tadi bawa kitab-kitab, coba aku tinggalkan saja di pondok,” keluah Filsuf
“Salahmu sendiri kau terlalu rajin buat apa bawa kitab segala inikan liburan bukan untuk ujian..”
“Tadinya kupikir terlalu sayang jika tidak dibawa mungkin ada perlu juga di jalan,”kata Filsuf

Seketika pandangan Filsuf menjurus ke arah kereta tua yang sedang berhenti tidak jauh dari tempat mereka berhenti dari perjalanan melewati jalanan setapak. Kereta itulah yang akan membawa para penumpang keluar dari wilayah Arabika State, sebuah wilayah yang luas dan belum tersentuh dengan pembangunan modern seperti daerah-daerah lainnya disekitarnya. Sebagian besar para santri pondok Islam Darusalam berasal dari luar wilayah Arabika State maka ketika liburan tiba Desa Marwa seketika penuh dengan lautan manusia berjubah putih menjuntai karena tempat inilah satu-satunya bagi mereka untuk bisa keluar dengan menggunakan satu-satunya ala transportasi yakni kereta, kereta tua paling bisin.

“Lebih baik kita naik duluan, jangan menunggu mereka, bisa-bisa nanti kesorean,” Kata Filsuf
Yang dimaksud Filsuf adalah kawan-kawan asramanya; Abdul Azize, Muawiyah A Harran dan Dzul Haramain.
“Tidak bisa Fil, soalnya karcisku masih tertinggal sama mereka, sebelum berangkat aku lupa minta,”ujar Adnan
“Lalu? Apa kita akan menunggu mereka? Mereka itu kalau jalan lama sekali...”keluh Filsuf, ia duduk dihamparan rumput tanpa alas.

Adnan memandang kesana kemari memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di rel kereta. Beberapa warung tenda tampak terlihat di sepanjang dekat rel kereta.
“Kita kesana aja Yuk Fil?” kata Adnan menunjuk salah satu warung yang tak begitu jauh dari tempat mereka berada,” Kau punya uang kan?”
Filsuf mengangguk setuju. Uang?tentu saja ia punya uang, ia belum pernah membelanjakannya selama di Darus. Filsuf kemudian bangkit menyusul Adnan yang terlebih dahulu berjalan kearah sana.
Di dalam warung terdapat bangku panjang yang menhadap meja. Antara bangku panjang yang satu dengan yang lainnya dipisahkan dengan tirai pendek, seseorang masih bisa memandang orang yang ada disebelahnya karena tirai itu hanya menutupi bagian atasnya saja.

Filsuf lega ia duduk dengan nyaman sambil memesan makanan pada pelayan warung itu.
“Tolong dua Mecca Cola dan dua Cake kurm ya....” katanya sambil menyebutkan nama makanan dan minuman yang dipesannya.
“Baik tunggulah sebentar...”pelayan itu lalu masuk kedalam bilik.
Sambil menunggu pesanan datang , tanp sengaja mereka mendengar percakapan orang-orang yang berada di sebelah tempat duduk mereka yang terhalang tirai.
“Huaah!! Ngantuk banget aku ini, ini salahmu Sof! Gak pernah bener kalo masang jam weker...”
“Loh kok ngelantur ngomongnya, gak usah nyalahin ane donk, urusan ama jam weker apaan?
“Pikiranmu pendek As, sebenarnya ini gara-gara si mister galak kurapan itu, tidurku jadi gak nyenyak, bukannya mikirin liburan malah mikirin nyeri punggung.
“Dan bukannya itu saja, Ustd Mizan itu juga turut andil memasukan kita ke liang lahat!”
“Ehh kupikir ini salahnya dua cecunguk itu, taukan kalian heh!! Kalau ketemu aku hajar mereka di jalan...”
“Ya ya.... dua anak-anak sialan itu, awalnya kan mereka yang buat kit jadi kayak gini..”
Suara-suara santri tampaknya membuat Filsuf dan Adnan terkejut. Ketika Filsuf perlahan membuka sedikit tirai, ia langsung menutupnya dengan cepat dan kemudian bangkit dengan wajah tegang. Ia mendekati Adnan dan berbisik. “gawat!! Itu anak-anak Jail Sofyan”
“Apa??!!”  seketik Adnan pucat.
“Kita salah masuk warung, sebaiknya kita segera kabur sebelum mereka tahu kita ada disini.”
“ Kita akan lari kalau mereka melihat kita,” kata Filsuf disusul dengan anggukan kepala Adnan. Tentu saja Adnan akan lari tanpa diperintah pun.
Pesanan akhirnya datang.. Filsuf segera berkata kepada pelayan agar disiapkan kantong plastik ia pun segera mengurus pembayarannya.
Pelayan itu heran sekali..”baik tunggu saya ambilkan”
“Ini... semuanya dua ratus dirham..”
Filsuf lalu merogoh saku celananya dan membayar dengn uang pas dan kemudian segera memasukan semua makanan itu kedalam kantong plastik dengan tatapan aneh si pelayan. 
Filsuf dan Adnan pun seger berlalu pergi. Mereka memasuki sebuah lorong didekat masjid.
“Huhh selamat-selamat mereka tidak melihat kita” kata Filsuf sambil bernafas lega.
“Ya aku sampai takut sekali mereka bakal melihat kita dan dan kita akan dihaja mereka di hari yang panas ini,” ujar Adnan” Tak kusangka mereka bisa bangun pagi dan bisa sampai di sini, biasanya mereka selalu kesiangan dan memilih untuk mengulur-ulur waktu”
“Mungkin mereka mau cepat-cepat minggat dari pondok, seperti yang kau dengar tadi mereka gak bisa tidur karena hukuman tadi malam,”kata Filsuf sambil membuka kantong plastik,” berani sekali mereka mengatai Pak Wahabi, mister galak kurapan,”
“kenyataannya memang galak tapi kalau kurapan itu sudah penghinaan namanya, seandainya saja Pak Wahabi dengar itu, bisa-bisa mereka dirajam.. “
“Biarin aja, tapi lucu juga wajah mereka tadi malam aku ngeliatnya sampai tak tahan, haha” Filsuf tertawa mengingat kejadian malam sebelumnya dimana ketiga santri yang bernama Sofyan Inkarus, Tsuda Bin Innas dan Abu Asafah yang lebih dikenal dengan kelompok Jail Sofyan masuk ke pondok interograsi, tempat menyelesaikan masalah anak-anak yang bandel. Sudah sering kelompok jail sofyan keluar masuk pondo interograsi akibat beragam kejahatan mereka terhadap anak-anak santri lainnya.

Pak Wahabi yang mengurus pondok interograsi benar-benar gerah selalu mendapati anak-anak itu kembali seperti tak pernah jera dengan hukuman yang sudah diberikan sebelumnya. Malam sebelum liburan kelompok Jail Sofyan membuat keributan lagi. Akhirnya berkat Adnan dan Filsuf anak-anak itu masuk kembali ke pondok integros. Pak Wahabi yang sudah teramat muak dengan anak-anak itu menjatuhkan hukuman berlapis paling berat kepada mereka dengan harapan itulah hukuman terakhir yang bisa meraka dapatkan di akhir tahun pelajaran. Namun hukuman itulah yang akhirnya membuat anak-anak Jail Sofyan menyimpan dendam pada Adnan dan Filsuf. Mereka bertekad akan memberi pelajaran berat pada kedua anak itu. Mungkin mereka akan berencana memburu keduanya di liburan ini. Adnan dan Filsuf tak gentar pada mereka saat mereka bersumpah akan membalas keduanya sewaktu di pondok karena mereka berdua tahu ada Abdul Aziz, Dzul Haramain, dan Muawiyah A Harran akan melindungi mereka. Namun mereka tidak menyangka bakal bertemu anak-anak Jail Sofyan saat itu, saat dimana mereka tidak bersama dengan ketiga rekannya. Aziz, Dzul dan Haran.

“ikhwan!!!”tiba-tiba Dzul Haramain yang berjalan paling belakang menoleh kebelakang ketika terdengar suara yang memanggil seperti suara perempuan suara akhwat. Abdul aziz dan Muawiyah Al-Harran berhenti berjalan mereka melihat tiga sosok berjilbab menyandang tas yang berjalan mendekati mereka. Siapa mereka?” pikir ketiganya
“Bolehkah kami ikut gabung dengan kalian?” tanya salah satu diantara akhwat itu setelah mereka mendeka.
Dzul Haramain yang paling dekat dengan mereka mengerutkan kening seperti tidak mengerti apa maksud perkataan mereka “Bergabung??? Maksudnya?”
“Maksud kami ya ikut dengan kalian bersama-sama begitu...” sahut diantara mereka lagi
Mendengar jawaban mereka. Abdul Aziz yang merasa ber
tanggung jawab terhadap kedua kawannya berkata,”Bukan begitu, masalahnya bukankah tidak lajim antara akhwat dan ikhwan berjalan bersama-sama... ditengah lingkungan seperti ini tentu itu mengandung fitnah.”
“Saya pikir tidak akan terjadi apapun, kami juga mengerti soal itu, lagipula kami Cuma merasa takut kalau Cuma kami bertiga saja sementara kami akhwat terakhir yang keluar dari pondok.. tak apa ya kami ikut kalian, kami akan jaga jarak...”
Aziz memandang Dzul dengan sikap bertanya, sementaa Dzul menganguk setuju. Tak ada pilihan lain. Aziz masih berpikir, ia tergolong kritis dan berpikir dalam. Sikapnya yang demikian itu karena ia adalah seorang amir asrama pondok.

Ketika tu waktu hampir mendekati dhuhur, matahari sebentar lagi akan berada di puncak langit. Muawiyah melihat arlojinya. Jam “11.30”. waktu begitu panas menyengat membuat butir-butir keringat jatuh seperti tetasan gerimis. Jilbab-jilbab putih yang dikenakan ketiga akhwat nampak tipis karena basah oleh keringat.
“Baiklah karen cuaca sekarang sedang panas dan kalian juga sudah dekat dengan kami, mending kita jalan saja sekarang,” kata Abdul Aziz memutuskan. Sebenarnya ditolak atau diterima sama saja hasilnya. Mereka kembali menyusuri jalanan setapak yang kecil menuruni lereng bukit. Tidak ada pepohonan yang menaungi perjalanan mereka , dimana-mana hanya ada semak-semak belukar dan padang ilalang. Abdul Aziz berjalan paling depan disusul dengan Dzul Haramain kemudian Muawiyah Al-Harran. Ia pun sambil berjalan mengambil sebotol air meneralnya. Ditawarinya ketiga akhwat itu yang berada dibelakangnya.  Setelah mereka menolak dengan sopan tawaran itu. Harran pun menegak habis sebotol air itu. Harran pun merasa segar, meski kakinya merasa pegal karena dari tadi terus berjalan tapi ia bersemangat karena ada ketiga akhwat yang sedang berjalan dibelakangnya. Lama mereka berjalan sebelum akhirnya sampai disebuah tepi jalan raya. Jalan beraspal itu memotong jalan setapakyang harus mereka lewati untuk sampai tiba di Desa Marwa. Jalur jalan raya itu Cuma satu arah yaitu ke Marwa. Mobil-mobil yang biasa melewati jalan raya itu berjenis pik up dan truk barang.

“Tunggu Ikhwan... tunggu sebentar” seru seorang akhwat berlari kecil ke depan Aziz. Aziz mengira akhwat itu mau berbicara kepadanya, tapi ia heran karena akhwat itu maju terus menuju jalan itu, saat itu ada mobil pik up melintas dari kejauhan.
Akhwat itu melambaikan tangannya ke atas. Dan kemudian mobil itu setelah mendekat berhenti tak jauh dari akhwat itu.
Abdul Aziz dan kedua kawannya itu sama sekali tidak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh perempuan itu. Matahari kian menyengat dimusim kemarau ini.
“ panas sekali ya—Dzul?” keluh Aziz
“coba tadi kita berangkat bersama Adnan dan Filsuf pasti gak sepanas ini cuacanya,” ujar Dzul
“Itu kan karena kita harus sowan dulu sama ustadz-ustadz dan kiyai ponpes, gak enak rasanya langsung pulang gitu aja tanpa pamitan.”
Tiba-tiba ada tepukan, semua mata memandang ke arah akhwat itu. Ia menganggukan kepala. Seorang akhwat lagi menghampiri Abdul Aziz dan Dzul Haramain.
“Ayo kita kesana?” ajaknya
“Kalian mau apa sih? “tanya Dzul Haramain bingung
“Kalian ini akhwat yang paling aneh,”cetus Aziz kehilangan kontrolnya. Panasnya udara sedikit demi sedikit merontokan kesopanannya.
“sudah yang penting kita kesana dulu, seterah kalian mau bilang kami ini apa?”
Akhirnya mereka pun berjalan mendekati mobil pik up itu. Abdul Aziz mendekati Dzul,”lebih baik untuk seterusnya kau saja yang berbicara aku tak sanggup lagi.”bisiknya.
Dzul menganggukan kepala. Abdul Aziz merasa bersalah atas kata-katanya barusan. Ia terdiam disamping Dzul agak kebelakang. Kepalanya menengok kesana kemari mencari Muawiyah. Suara Muawiyah tidak terdengar lagi. Muawiyah ternyata sedang asyik mengobrol pelan dengan salah satu akhwat yang lain. Mereka berdiri paling belakang. Abdul Aziz mengurungkan niat memanggil anak itu.
“apa? Naik mobil?? Kami tidak bisa....” ujar Dzul
“Ayolah kalau kalian tidak bisa kami juga tidak...”
“Loh kenapa begitu?”
“Kan sudah kami bilang tadi kalau kami butuh teman perjalanan...”
“Iya tapi ini masalahnya....”
“Sudahlah Dzul terima saja... daripada kita berlama-lama disini, kasihan juga mereka sudah kepanasan...” suara lemah Abdul Aziz terdengar. Rupanya ia sudah tidak tahan.
Dzul heran dengan sikap Aziz.
“Baiklah teman kami setuju, kami akan ikut kalian...”jawab Dzul.
“Gitu donk..”

Kemudian mereka masuk kedalam mobil itu. Pada bagian belakang sudah ditutup dengan kain terpal sehingga anak-anak yang duduk dibelakang bisa terlindungi.
Abdul Azizi memilih duduk didekat sopir dikabin.

Mobil kemudian melaju dengan cepat. Selama perjalanan mereka tidak banyak bicara. Tampaknya mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya Muawiyah Al-Harran yang merasa lain. Wajahnya terlihat segar. Entah apa yan sedang dipikirkan oleh anak itu sehingga ia terlihat begitu senang. Hanya tiga akhwat itu yang tidak bisa dikenali bagaimana perasaan mereka. Ketiganya memakai cadar. Hanya mata mereka saja yang terlihat. Dari cahaya mata mereka terlihat mereka juga sepertinya lelah dalam perjalanan kali ini. Bisa dimaklumi jalan kaki selama satu jam ditengah cuaca panas memang sangat menguras tenaga terutama kaum hawa.

Dalam pikiran Dzul tiba-tiba timbul satu pertanyaan.
“Kalian ini tingkat berapa?” tanyanya tanpa memandang kearah mereka, apalagi saat itu mereka saling duduk berhadapan.
“Tingkat pertengahan, kalian?”
“sama dengan kalian, tapi bagaimana ceritanya bisa terlambat dari rombongan begitu?”
“Kalau itu rahasia, seharusnya kalian tahu kenapa bisa demikian hehe...”
“Oh ya ya...”senyum Dzul.
Setelah itu mereka terdiam kembali. Tanpa terasa perjalanan dengan mobil pik up terasa singkat. Mereka sudah tiba di desa.

Tengah hari di alun-alun marwa terdngar suara adan memecah keramaian disekitar rel kereta. Kereta pertama telah berangkat. Filsuf dan Adnan masih menunggu Aziz, Dzul dan Haran. Kalau tidak ada masalah, Filsuf dan Adnan tentu sudah berangkat meninggalkan Marwa. Pukul 12.30 nanti kereta kedua akan berangkat. Setiap kereta hanya menunggu para penumpang selama satu jam saja. Di Marwa dan daerh sekitarnya aturan ini lajim digunakan mengingat Marwa bukanlah daerah yang sibuk dan para penduduk yang jarang bepergian.
“Nanti kita akan naik kereta kedua, kalau blum muncul juga terpaksa aku akan keluarkan dirhamku buat beli karcis,” kata Filsuf pada Adnan.

Mereka berdua duduk di teras mushola sambil memperhatikan orang-orang masuk ke dalam mushola. Beberapa orang santri tampak berada di depan mushola, lalu menyapa keduanya. Jarang sekali ada santri yang kenal dengan keduanya karena mereka tidak pernah bergabung dengan perkumpulan-perkumpulan di pondo begitu pun dengan anak-anak santri lainnya. Mereka hanya kenal dan dikenal oleh teman-teman pondoknya dan teman sekelasnya saja.
“Ya-baiklah yuuk kita holat sekarang..” ajak Filsuf lagi sambil membuka sepatunya
Adnan mengangguk setujua, ia tampak tak berselera mengucapkan sepatah katapun seperti ada yang sedang di pikirkannya.
“ada masalah? Kenapa diam aja daei tadi?”
“Dim? Kau anggap aku anak pendiam, kalau ada masalah tentu saja aku akanbilang..” jawab adnan sedikit gusar
“Oke...,”cetus Filsuf,” Aku duluan masuk..”

Mobil pik up sampai di stasiun desa Marwa yang saat itu sedang lengang karena saat itu waktu shalat Dhuhur. Di stasiun hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan berbagai macam urusan. Beberapa orang santri pun terlihat yang kebanyakan adalah para akhwat.
Abdul Aziz turun dari mobil  kemudian berjalan ketempat kawan-kawannya  yang ada dibelakang yang mulai turun satu persatu.
“Singkat ya perjalanan kita sampe gak kerasa di jalan...” seru Harran senang mencoba mengakrabkan dirinya pada ketiga akhwat itu.
“Wah bisa-bisa nanti ketagihan naik mobil daripada jalan kaki..ha ha,”balas seorang syahwat
“Siapa yang bayar?” tanya Dzul Haramain
“Dia Sonya Aniski,” jawab seorang akhwat sambil menunjuk kawannya yang sedang menemui sang supir.
Sonya Aniski nama yang indah, pikir Dzul Haramain.
“Oh jadi namanya Sonya Aniski, terus dia Umi Kitsa lalu namamu siapa?” tanya Harran.
“Aisyah Edla, dan kalian sendiri kalau boleh tahu?”
“Aku Harran, Muawiyah Al-Harran,” jawab Harran,”Lalu yang ini namanya Dzul Harramain panggilannya Dzul ... dan yang disebelah sana lagi namanya Abdul Aziz. Kalian perlu tahu dialah Amir Pondok kami.”
“Yah seorang Amir Pondok yang hebat,” balas Dzul
“Ehmm kalian ini muji atau ngejek,” tiba-tiba Abdul Aziz angkat bicara. Baru kali ini dia berbicara kembali.
“Tentu saja memuji Ziz ,”Seru Harran sambil tersenyum lebar.
Abdul Aziz geleng-geleng kepala.
“Kau memang pantas jadi Amir sikapmu beda..” ujar Aisyha
“Tidak juga, Cuma juju saja aku akui aku tidak terlalu biasa, ha ha..” tawa Aziz ia mulai mengendurkan kekritisannya.
“Ya ya terlalu gogi biasa demam cwek hehe,” ujar Harran
“Huuss Harran!..”tiba-tiba Dzul menghardik
Abdul Aziz menahan malu,kurang ajar dia awas nanti, batin Aziz sedikit geram
“santi gak pantas ngomong gitu..” kata Dzul menunjukkan gigi-gigi  taringnya
“ya Harrn ini kok gitu gak sopan sama Aminya...”kata Umi Kitsa
Harran hanya diam, sdar ternyata kata-katanya kebablasan
“Nah kayaknya kami harus pamit ini..” kata Aisyah,”terimakasih sudah jadi teman perjalanan kami walaupun sebentar.”
“Sama-sama terimakasih juga atas tumpangannya dan bayarannya, maaf ya ...” kata Dzul Haramain
“Benar seharusnya laki-laki yang bayar ha ha... “Kata Sonya dengan nada bercanda,” tapi gak apa-apa ko yang ngajak kan kami jadi ya kami yang harus bayar,”
“Kalau boleh tahu bagaiana cara mengenal kalian, kalian nampak serupa, kalau kita ketemu lagi mungkin aku tak mengenali kalian lagi, “kata Harran
Dzul Harramain menepuk bahu Harran,”Kau tak boleh bertanya seperti itu.”
Para akhwat tersenyum,”Kalian bisa kenali kami dari tas-tas kami atau logo ini,”
Sebuah logo ditunjukkan pada bagian samping jilbab mereka.
“atau lihat tas kami ini, jauh lebih mudah daripada memperhatikan sebuah logo haha,”
“akan kami ingat itu,” kata Harran
“Terimakasih Ziz, Harran dan Dzul, sampai jumpa kembali “
Para akhwat kemudian membalikkan badan dan berjalan menjauh dari mereka menuju salah satu gerbong.
Baru kali ini anak laki-laki itu merasakan sesuatu yang lain, sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“hemm... aku belum pernah merasakan suasana yang seperti ini dalam seumur hidupku, aku bingung apa menolak perasaan ini atau membiarkan saja mengalir dan menciptakan aliran baru..” kata Aziz
Harran tersenyum lebar sementara Dzul memicingkan mata ke arah Aziz,” kenapa anak ini?” pikirnya.
Tapi Dzul pun merasakan hal yang sama.

Awal liburan yang manis, cukup memberikan kesan. Ternyata indahnya cinta itu... Dzul bisa merasakannya ... rasa kasih yang tiba-tiba membalut jiwanya, hatinya. Tapi pada siapa ia bercinta? Dzul membuang angan-angan itu. Terlalu berlebihan hatinya memaknainya padahal ia belum tahu perasaan mereka terhadap dirinya atau kawan-kawannya. Tapi yang pasti seorang perempuan itu menimbulkan cinta dan kasih sayang pada seorang laki-laki termasuk kepada dirinya. Baru kali ini ia merasakan dekat dengan perempuan walaupun tidak terlalu dekat.

Pukul dua belas lewa lima belas menit. Kira-kira begitulah waktu yang tertera pada jam tua yang ada di atas sebuah tiang dekat dengan rel kereta. Lima belas menit lagi kereta kedua akan berangkat. Filsuf akhirnya tidak perlu lagi mengeluarkan dirhamnya untuk membeli karcis lagi untuk Adnan. Mereka bertemu dengan ketiga kawan mereka di mushola. Setelah makan siang dan membeli bekal buat perjalanan panjang di kereta mereka berlima segera mencari tempat duduk.

Gerbang akhwat dan ikhwan terpisah. Gerbang Ikhwan berada di bagian depan sementara akhwat berada di belakang. Sementara  satu gerbong lainnya untuk penumpang umum yang berada di depan gerbong ikhwan.
Kereta tua itu akhirnya berangkat juga meninggalkan Wadi Marwa. Dua minggu lagi anak-anak santri itu akan kembali dan meramaikan desa itu dengan jubah putihnya yang menjuntai...


Post a Comment for "Wadi Marwa"